Breaking News
Loading...

17 Mei 2010

Fujuurohaa Wataqwaaha

Senin, Mei 17, 2010


Sebuah film lawas Amerika berjudul Jekyll and Hyde yang diambil dari novel karya Robert Louis Stevenson dengan judul yang sama yang diterbitkan pada April 1982, menggambarkan tentang adanya unsur baik dan unsur jahat pada diri seorang manusia. Sebenarnya film tersebut menggambarkan perubahan seorang pria bernama Dr. Jekyll yang baik hati, menyenangkan dan sangat bersahabat dengan semua orang setelah minum formula kimia tertentu sehingga menjadi orang lain dengan karakter yang berlawanan, yakni Mr. Hyde yang membenci setiap orang yang dijumpainya.

Dalam diri menusia unsur baik dan jahat seringkali ‘berebut’ untuk tampil lebih dominan, bergantian atau bahkan bisa muncul dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan Kahlil Gibran menyebutkan dua karakter negatif, setan dan hewan yang bersemayam di diri manusia dan hanya satu karakter positif, malaikat yang senantiasa tarik menarik untuk menguasai jiwa manusia. Dalam terminologi Islam ada yang disebut potensi fujuuroha wataqwaaha, kecenderungan untuk berbuat fasik dan juga taqwa. Jika lebih besar kecenderungan ketaqwaannya maka jadilah ia orang baik, menyenangkan, tetapi sebaliknya, ada orang-orang yang senang berbuat jahat, bathil karena karakter setan dan hewan menguasai jiwanya.
Kemudian ada orang yang memiliki sekaligus dua karakter baik dan jahat itu, dan kita mengenalnya sebagai orang munafik. Hipokrit yang berkepribadian ganda (split personality) yang digambarkan dalam awal-awal surat Al Baqarah dengan jumlah ayat yang lebih banyak ketimbang ayat tentang orang beriman dan kafir. Itu artinya, orang munafik jauh lebih berbahaya ketimbang orang kafir, karena ia bagaikan musuh dalam selimut, pagar makan tanaman, dan menggunting dalam lipatan.
Kembali ke soal potensi baik dan jahat dalam diri manusia, harus diakui bahwa setiap kita memilikinya. Seperti halnya Allah menciptakan semuanya berpasangan, maka juga ada sabar dan emosi dalam diri manusia, ada pelit dan pemurah, ada cinta dan benci, ada maaf dan dendam, sombong (takabbur) dan rendah hati (tawadhu’) dan sebagainya. Tinggal bagaimana seorang manusia mampu mengendalikan diri dan jiwanya sehingga karakter jahat (karena kita memberi celah kepada setan untuk masuk dan menguasai jiwa) tidak muncul dalam setiap gerak dan langkah kita. Karena seringkali manusia tidak menyadari bahwa setan telah mempengaruhinya untuk berbuat suatu kejahatan, yang biasanya baru disadari sesaat setelah sebuah perbuatan jahat dilakukan. Ada penyesalan, dan saat itulah potensi baik manusia muncul, bahwa ia merasa berdosa. Ini tentu masih lebih baik karena ada manusia yang sudah sama sekali terkubur unsur baiknya sehingga tak bosannya berbuat maksiat dan dosa tanpa merasa bersalah.
Padahal hakikatnya, sekali lagi, jiwa manusia memiliki kecenderungan fasik dan taqwa. Misalnya saja, sejahat-jahatnya manusia, tidak ada yang mau disebut penjahat. Profesi jahat apapun yang dilakoninya biasanya ada ‘alasan baik’ yang menjadi motivasinya. Entah anak istri lapar, demi membela harga diri atau minimal sebuah alasan umum, khilaf. Namun setidaknya itu menjadi bukti adanya potensi baik dan jahat itu.
Masalahnya kemudian, tidak jarang kita terjebak atau terdorong untuk memperturutkan kecenderungan jahat itu. Na’udzubillah summa na’udzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan jahat besar maupun kecil. Hanya saja yang perlu diingat, ada kejahatan-kejahatan kecil yang kerap kita lakukan tanpa kita sadari dan bahkan kita menganggapnya bukan suatu kesalahan. Misalnya saja, seketika ada rasa sombong yang mencuat ketika meraih prestasi ditempat kita beraktifitas. Tak sadar mungkin kita terlebih dulu menepuk dada seraya berujar, “siapa dulu … gue …”, setelah itu kemudian baru terucap, “alhamdulillaah”. Atau seketika marah terhadap perlakuan orang yang mungkin tidak disengaja. Padahal sabar dan memberi maaf jauh lebih terhormat untuk kita lakukan. Kalimat “sabar kan ada batasnya” yang sering kita dengar seolah juga memberi bukti bahwa ada dorongan untuk memenuhi kecenderungan fujur kita.
Semuanya dikembalikan kepada kita, ingin berperan menjadi orang baik atau orang jahat. Dengan mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kuasa atas semua jiwa manusia, dan mencontoh tauladan kita Nabi Muhammad Saw yang segala kebaikkannya membaikkan ummatnya. Termasuk memilih komunitas yang baik dan menghindari tempat dimana kejahatan bersemi. Maka bukan tak mungkin kita mampu mengubur potensi jahat (setani dan hewani) dalam diri ini dan membiarkan karakter kebaikkan memenuhi setiap relung jiwa ini. Wallahu a’lam bishshowaab.

0 komentar:

Posting Komentar

Postingan boleh disebarluaskan, asalkan menyertakan link kembali ke halaman ini.

Berkomentar dengan santun dan hindari SPAM !

 
Toggle Footer
Back to Top