Breaking News
Loading...

07 Mei 2010

Berjuang Dengan Kemandirian

Jumat, Mei 07, 2010


“Dia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan dibangkitkan sendirian.” Itulah ungkapan Rosulullah saw untuk Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Rosulullah bersama pasukan Islam sedang istirahat di Tabuk. Ketika Abu Dzar hendak berangkat ke Tabuk, Rasulullah dengan pasukannya sudah meninggalkan kota Madinah.
Sementara Abu Dzar masih harus mencari-cari perbekalan yang akan
ia bawa dan kendaraan yang dapat mengantarkannya. Namun yang ia
dapatkan hanya seekor keledai lemah. Tak apalah, ia berharap keledai
itu bisa membawa perbekalan, meski ia harus berjalan.



Abu Dzar adalah contoh sebuah perjuangan dalam kesendirian.
Simbol betapa perjuangan harus tetap berjalan, meski tinggal sendiri
tanpa kawan. Seperti kisah perang Tabuk yang sarat pelajaran itu.
Masa itu adalah hari-hari sulit bagi kaum muslimin. Udara panas
membakar. Kas negara tidak menyimpan banyak duit. Sementara ada
informasi bahwa bangsa Romawi akan menyerang.
Karenanya, untuk pergi ke Tabuk, kaum muslimin harus
membekali dan mempersenjatai diri sendiri. Meskipun Utsman bin
Affan misalnya, telah berkorban amat besar untuk proyek Tabuk ini,
namun ia hanya mampu memenuhi sepertiga kebutuhan pasukan. Tak
lain karena jauhnya jarak ke Tabuk dan banyaknya pasukan yang
berangkat memenuhi panggilan jihad.
Al-Qur’an merekam satu sisi kesulitan yang terjadi saat itu. “Dan
tiada (pula dosa bila tidak ikut berperang) atas orang-orang yang
apabila mereka datang kepadamu supaya engkau memberi kendaraan,
lalu kamu berkata,’Aku tidak memperoleh kendaraan untuk
membawamu,’ lalu mereka kembali sedang mata mereka bercucuran
air mata karena sedih, lantaran tidak memperoleh apa yang akan
mereka nafkahkan.” (At Taubah 92)
Betapa sedihnya tak bisa membiayai diri sendiri untuk berangkat
bersama Rosulullah. Tapi di sisi lain, banyak pengecut-pengecut yang
memanfaatkan pernyataan Allah tersebut. Tentu saja orang munafiq
semakin merasa memperoleh “legitimasi” untuk tidak mengikuti
Rosulullah saw. “Kalau yang engkau serukan kepada mereka itu
keuntungan yang mudah diperoleh dan jarak yang tidak terlalu jauh
niscaya mereka akan mengikutimu; akan tetapi tempat yang dituju itu
terasa jauh bagi mereka,” kata Allah (QS: 9:42) menjelaskan sikap
pengecut orang-orang hasil “didikan” Abdullah bin Ubay itu.
Orang-orang munafik, seperti diceritakan dalam Al Qur’an, tidak
akan berangkat kecuali jika jarak yang akan mereka lalui tidak terlalu
jauh dan keuntungan yang mereka peroleh mudah. Bagi mereka,
perang Tabuk, seperti perang-perang lainnya, penuh ketidakpastian.
Pengorbanan, kesulitan, dan bahkan kematian sudah pasti. Sementara
kompensasi material dari segala pengorbanan itu, bagi mereka,
belumlah pasti. Mereka menganggap pengorbanan apa pun akan
sia-sia, kecuali kalau berefek langsung pada perolehan hal-hal yang
bersifat duniawi. Selain itu, orang-orang munafik yang malas berjuang
itu pun menghembuskan provokasi. Mereka menghasut kaum muslimin
dan mengatakan, “Janganlah kalian berangkat ke medan perang di hari
panas seperti ini.” Tapi, justru itulah hikmahnya. Dengan kondisi itu,
Allah mengungkap kepalsuan iman orang-orang munafik.

Bandingkan dengan yang dilakukan Abu Dzar. Jarak yang sama,
tingkat kesulitan yang sama, ia tempuh tanpa keluh kesah, tanpa rasa
berat, walaupun terik matahari panas membakar. Tanpa merasa
dihantui kesunyian, ia menempuh jarak tak kurang dari 900 km,
berjalan kaki sendirian. Abu Dzar memang istimewa.
Hari-hari ini berbagai belahan bumi Islam sedang merana. Menanti
kehadiran para pejuang yang siap menjual dirinya untuk Allah. Menanti
berulangnya sejarah emas perang Tabuk, terutama keteladanan sosok
Abu Dzar. Saat semangat kolektifitas tak bisa diharapkan, maka
kepedulian pribadilah yang bisa jadi tumpuan. Ketika berbagai
lembaga, organisasi, institusi, apa pun namanya tak banyak
membantu perjuangan, maka semangat seorang dirilah yang mampu
menyambung nyawa perjuangan.
Banyak orang mengeluhkan kurangnya SDM. Mereka juga sangat
doyan “merintih” tentang kurangnya dukungan finansial. Fasilitas pun
sering dikambinghitamkan dalam mencari solusi dari beratnya beban
perjuangan Islam. Memang, tak mungkin menutup mata dari semua
realitas itu. Tapi, pernahkah perjuangan berlalu tanpa beban?
Karenanya, sosok Abu Dzar, tak sekadar ditafsirkan semangat
kesendirian. Tapi lebih dari itu adalah etos kemandirian luar biasa dari
seorang Abu Dzar. Dalam segala keterbatasannya, ia tak mau
merepotkan orang lain. Apalagi sampai “menggunting dalam lipatan”
atau mencuri kesempatan dalam kesempitan. Sangat biadab
orang-orang yang melakukan itu.
Bila di Ambon umat Islam harus berjuang, maka sosok Abu Dzar
sangat dibutuhkan. Bila di Aceh umat Islam harus berjuang, maka
sosok Abu Dzar sangat diperlukan. Sudah bukan jamannya lagi umat
Islam menjadi beban perjuangan. Justru sebaliknya, umat harus
berjuang mengurangi beban-beban itu. Dan, ikhlas menjadi dasar
utama untuk melahirkan orang-orang seperti Abu Dzar. Mengapa?
Dengan ikhlas seorang muslim menyadari bahwa tak ada pengorbanan
yang sia-sia di mata Allah. Semua jerih payah akan diganti Allah SWT,
dengan imbalan yang berlipat ganda. Semakin besar tantangan,
sesungguhnya bermakna semakin besar peluang pahala. “Yang
demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah; dan tidak pula menginjak satu tempat yang
membuat orang kafir marah dan tidaklah menimpakan satu bencana
kepada musuh, melainkan dicatat untuk mereka dengan perbuatan itu
suatu amal saleh.” (At-Taubah: 120).
Selain itu, di tengah-tengah perjuangan, sering muncul
kecemburuan, ketersinggungan, karena senioritas dan hal lainnya.
Karenanya, dengan hati yang ikhlas, semua itu insya Allah bisa
dihilangkan. Rasa cemburu hanya membuka front dengan pihak yang
sebetulnya bukan untuk dimusuhi. Pada gilirannya perjuangan hanya
disibukkan dengan musuh yang diciptakan sendiri. Dengan ikhlas,
perjuangan Islam tidak akan disibukkan intrik-intrik atau konflik
gara-gara ambisi duniawi. Maka, jika ada yang harus dibenahi pada
perjuangan Islam saat ini, pastikanlah nomor satunya adalah
melakukan penempaan agar setiap personilnya memiliki jiwa ikhlas.
Siap berjuang, meski hanya tinggal seorang. Di Ambon, di Aceh, dan
juga di belahan bumi lainnya, perjuangan menegakkan kebenaran
menantikan orang-orang seperti Abu Dzar. Yang tidak pernah terlalu
berharap kepada orang lain, mengandalkan, apalagi bergantung kepada
orang lain.

1 komentar:

  1. kisahnya menginspirasi diriku, makasih ya atas postingannya

    BalasHapus

Postingan boleh disebarluaskan, asalkan menyertakan link kembali ke halaman ini.

Berkomentar dengan santun dan hindari SPAM !

 
Toggle Footer
Back to Top